Minggu, 25 Desember 2011

Cho[i] Chronicles {|The Begining|}


Aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku kelak. Aku juga tidak tahu apa yang akan menerpa ‘kami’ setelah semua ini terbongkar. Aku bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya sedang menimpa ‘kami’ saat ini. Ini terlalu rumit bagiku untuk menjelaskannya.
❀◕
                Ya Choi Sora,” panggil sebuah suara. “Apa yang sedang kau lakukan di sini, huh?”
                “Tidak ada hubungannya denganmu,” kataku ketus.
                Sosok itu terus berdiri menghadapku, namun aku tak menghiraukannya. Sampai dunia kiamat pun aku tak akan pernah menyerah untuk mendapatkan yang kumau.
                “Sora-ssi kumohon hentikan segera!” pintanya dengan pelan.
                Aku tak peduli. Aku tak dengar.
               “Choi Sora, apa kau tuli?” tanyanya dengan meninggikan nada bicaranya yang terkesan merendahkan, seperti biasa. “Apa kau sebodoh itu mau melakukan ini? Ayo cepat berdiri!”
                “Terserah saja apa katamu!” Aku sama sekali tidak mau mendengarkan omongannya lebih lanjut.
Selama beberapa menit kedepan aku tetap berjongkok diatas rerumputan hijau di pelataran depan bangunan panti asuhan ini.
“Kenapa kau begitu keras kepala, sih?” tanyanya lagi.
Dia masih tetap saja berdiri di depanku.
“Lalu kenapa memangnya kalau aku keras kepala, huh?” aku menatapnya dengan sadis. “Sama sekali bukan urusanmu, tahu?” tambahku.
“Baik kalau begitu, sampai kapan kau akan tetap terpuruk seperti ini?” ia bertanya untuk kesekian kalinya.
Kenapa sih dia harus bertanya retoris begitu? Sudah jelas juga apa tujuanku berdiam diri ditengah udara dingin menusuk tulang seperti ini tanpa menggunakan jacket, syal, maupun sarung tangan dan kaos kaki.
“Sampai aku mendapatkan PSP ku kembali,” sahutku mantab. Ya, itulah alasanku mengapa aku berada dalam situasi seperti saat ini. Aku harus mendapatkan satu-satunya benda kesayanganku itu walau bagaimana pun caranya.
“Aku akan membantumu,” ia berujar sambil berjongkok menjajari posisiku. Aku bisa merasakan hembusan napasnya yang menerpa wajahku. Hangat. Walau aku benci mengakuinya meski pun hanya sebatas dalam batinku, namun aku suka bau tubuhnya yang khas, mengingatkanku pada sosok samar yang terus terngiang-ngiang di benakku. Ayahku memiliki bau yang hampir mirip dengannya.
“Bagaimana mungkin kau bisa membantuku disaat kau sendiri tidak memiliki kemampuan untuk membantu dirimu sendiri?” kataku sarkatis.
Ia melepas syal yang melilit lehernya, kemudian melilitkannya pada leherku yang membiru. “Terasa lebih mudah untuk membantummu saat ini.” Lalu ia menurunkan resleting jacket tebal yang ia kenakan, ia memakaikannya padaku yang sudah kedingingan dari tadi.
Aku hanya terdiam, tidak tahu harus bersikap bagaimana terhadap perlakuannya terhadapku. Jauh di dalam hatiku, aku tahu pasti bahwa ia adalah anak yang baik. Ia selalu ada ketika aku berada dalam masalah—lebih tepatnya ketika aku membuat masalah. Walau aku tak pernah meminta bantuannya, ia selalu saja membantuku secara cuma-cuma. Mungkin itu yang namanya keikhlasan tanpa pamrih.
“Aku berjanji akan membawa PSP kesayanganmu itu kembali ke genggamanmu, jadi ayo kita sudahi hal konyol ini!” ia berdiri, mengulurkan tangan kanannya tepat kearahku yang sedikit terhenyak. “Ahh, di sini dingin sekali. Ayo cepat kita masuk ke dalam! Aku tidak mau besok ada berita di Koran bahwa seorang gadis kecil membeku kedinginan di depan sebuah panti asuhan hanya karena masalah sepele.”
 “Ini bukan masalah sepele, asal kau paham saja tuan muda Choi Siwon!” Aku menangkis uluran tangannya. “Dan lagi, aku bisa berdiri sendiri.” Aku berjalan ke arah panti asuhan, meninggalkan Choi Siwon di belakang. Aku tahu ia akan segera menyusulku, katanya di sana sangat dingin pasti ia akan segera menyusul! Pasti.
Ya, baiklah Choi Sora-ssi. Aku anggap itu merupakan caramu mengucapkan terima kasih padaku,” ia berlari mengiringi langkah kecil kakiku. Kenapa langkah kakinya begitu panjang? Berbeda sekali denganku. Aku menggembungkan pipiku. Diam-diam aku iri terhadap bocah laki-laki di sampingku ini, Choi Siwon. Ia begitu tinggi untuk anak seusianya. Aku bahkan tidak ada sepundaknya, sungguh sesak dadaku rasanya ketika aku memikirkannya.
Choi Siwon adalah putra tunggal dari pemilik Hyundai Crop. Dulunya, ia adalah satu-satunya pewaris dari perusahaan besar milik ayahnya itu. Aku pernah mendengar dari ibu panti bahwa banyak orang yang telah memprediksi kalau suatu saat nanti Siwon akan menjadi penerus yang cakap. Namun siapa yang menyangka bahwa ia harus berakhir di sini, di tempat yang sama denganku, karena disebabkan oleh kematian kedua orang tuanya dalam sebuah kecelakaan pesawat saat dalam perjalanan bisnis ke luar negeri. Tak ada keluarga yang mengurusi perusahaan dan dirinya, sehingga ia dimasukkan ke panti asuhan. Terkadang aku bingung dengan Siwon, bagaimana ia bisa begitu ceria dan periang dalam keadaannya yang seperti itu? Ia begitu dermawan dan bijak. Sungguh berbeda 360 derajat dari diriku.
❀◕
Hari ini adalah salju pertama musim dingin turun. Betapa senangnya aku bisa melihatnya. “Ah, indahnya~!” ujarku di depan kaca jendela yang langsung menghadap ke pekarangan depan bangunan panti. Ada sebuah perosotan, ayunan, dan jungkat-jungkit yang mulai terselimuti oleh salju putih di sana. Dalam hati aku bersedih. Itu berarti aku tidak bisa lagi main perosotan kesukaanku.
“Kenapa cemberut?” Siwon menhampiriku dari belakang, “bukankah PSP mu sudah kembali?” tanyanya. Memang benar, Siwon telah berhasil membujuk ibu panti untuk mengembalikan PSP ku. Entah bagaimana caranya, ia tidak mau bercerita setiap kali aku bertanya.
“Tapi karena salju sudah mulai turun, berarti aku tidak bisa lagi main perosotan di luar,” aku memanyunkan bibirku beberapa senti kedepan, suatu kebiasaan yang sering aku lakukan ketika kesal atau pun sedih. Untuk ukuran anak perempuan, aku ini benar-benar tidak sensitive dan susah sekali  tersentuh. Jadi, aku jarang sekali menangis. Bahkan aku sempat berasumsi bahwa aku ini manusia batu yang tidak memiliki hati selembut kapas. Apa mungkin aku ini akan tumbuh menjadi wanita yang tidak berperasaan? Ah, aku harap begitu. Kedengarannya keren dan tangguh.
“Sudahlah, syukuri apa yang kau dapat! Kenapa manusia itu sama saja? Selalu tidak pernah puas. Kau kan bisa bermain PSP di dalam ruangan, main perosotannya nanti saja kalau sudah musim semi tiba.”
Siwon memulai berceramah singkat lagi. Mungkin kelak ketika dewasa ia pantas menjadi seorang pastor saja.
“Ya ya ya! Terserah saja apa katamu, tuan muda Choi.”
“Berhenti memanggilku ‘Tuan Muda’! Aku bukan lagi tuan muda,” ujarnya cepat. Walau ia tidak menampakkan raut muka sedih, namun aku bisa menangkap perasaan itu dari nada bicaranya.
“Iya iya baik! Tak akan kuulangi, Tuan mu…ah maksudku Choi Siwon-ssi.”
Aku terus-terusan memandang keluar jendela, mengamati keindahan yang disuguhkan oleh Tuhan. Ada sebuah sinar yang menrobos salju yang turun, sebuah mobil memasuki pekarangan panti asuhan.
“Ada tamu ya di hari dingin seperti ini?” tanyaku tidak kepada siapa-siapa.
“Mungkin akan ada orang tua yang mengadopsi anak,” tukas Siwon menerka-nerka kemungkinan yang terlintas dalam benaknya.
“Menurutmu begitu ya?”
❀◕
Aku, Siwon, dan beberapa anak lain dipanggil oleh ibu kepala panti untuk berkumpul di ruang tamu yang memang merupakan ruangan paling luas di panti asuhan ini. Benar saja dugaan Siwon, ada dua orang asing berdiri tak jauh dari ibu kepala panti Seo. Seorang laki-laki dan wanita.
“Anak-anak, kalian tahu siapa tuan dan nyonya ini?” Tanya ibu kepala panti Seo kepada kami semua.
“Tidak buuuu~!” kor anak-anak semuanya kecuali aku yang hanya menjawab dengan geleng-geleng kepala saja.
“Mereka ini adalah sepasang suami-istri, yang ini tuan Lee Donghae dan yang di sebelahnya adalah nyonya Go Hyeri,” kata ibu kepala Seo memperkenalkan. “Mereka akan mengadopsi salah satu dari kalian.”
“Eh masa?”
“Yang benar?”
“Ini serius?”
“Tidak main-main kan?”
“Aku mau!”
“Aku juga mau!”
Seluruh anak-anak panti yang ada di ruang tamu sungguh sangat bahagia, mereka menyambut kabar gembira itu dengan suka cita. Nampaknya hanya aku dan Siwon saja yang tidak terlalu antusias mengenai hal ini. Saat ini aku hanya berpikir, tidak peduli aku akan diadopsi atau tidak suatu hari nanti, asalkan ada Siwon di dekatku, asalkan kami berdua saling memiliki satu sama lain, aku tidak apa-apa bila harus tinggal di panti asuhan ini seumur hidupku. Terlalu sederhana kah bagi seorang gadis kecil berpikiran bahwa sahabatnya adalah segalanya untuknya? Aku bahkan sudah tidak memiliki orang tua lagi.
Mereka berdua—tuan dan nyonya Lee—berjalan kearah kami semua berdiri. Mereka mengamati satu persatu wajah kami. Aku hanya memasang wajah datar di depan mereka. Siwon menyikutku ketika nyonya Lee memandangiku selama beberapa detik lebih lama dibandingkan anak-anak lain. Aku menatap tajam ke arah Siwon, mataku mengisyaratkan ‘Apa? Ada apa? Kenapa menyikutku? Tanganmu gatal? Perlu aku patahkan saat ini juga?’.
Kemudian nyonya Lee beralih menatap Siwon, namun hanya sebentar. Siwon mengedikkan bahunya ke arahku. Entah apa maksudnya. Sementara tuan Lee berdiskusi dengan istrinya perihal anak mana yang menurut mereka ingin mereka adopsi, anak-anak perempuan di sebelahku tak henti-hentinya berpose ‘cute’. Aku tak habis pikir, kenapa mereka sampai harus melakukan hal semacam itu, menurutku itu terlalu berlebihan.
“Kau harus tahu, bagi mereka itu memiliki orang tua kembali adalah sebuah mukjizat. Jadi, jangan berpikiran bahwa hal yang mereka lakukan itu berlebihan! Aku rasa kau juga harus melakukan hal yang sama!” bisik Siwon tepat di telingaku. Bagaimana bisa ia mengetahui apa isi kepalaku? Apa ia bisa ilmu membaca pikiran atau semacamnya?
“Aku tidak perlu hal-hal semacam itu!”
“Kenapa tidak perlu?”
“Bukan urusanmu!”
❀◕
Untuk sekali seumur hidupku aku menyesal pernah mengatakn hal itu terhadap Siwon. Andai saja waktu itu aku melakukan apa yang dilakukan anak-anak lain, pasti aku masih di sana bersama Siwon.
Sudah enam tahun berlalu semenjak saat itu. Semenjak aku resmi diadopsi oleh keluarga Lee. Ternyata waktu itu mereka mencari anak yang bersikap biasa-biasa saja seperti aku, bukan anak-anak yang sengaja bersikap manis untuk menarik perhatian mereka.
Mereka membawaku pergi segera setelah mereka selesai mengurusi proposal pengadopsin anak dari panti asuhan.
Sejauh ini, hidupku baik-baik saja. Ayah dan ibu angkatku begitu baik padaku. Mereka memperlakukanku sebagai anak yang seakan-akan terlahir dari rahim nyonya Lee. Mereka memberikanku kamar yang begitu cantik dan nyaman, walau pun rumah kami tidak terlalu besar karena kami tinggal di sebuah apartment. Mereka juga membelikanku pakaian-pakian bagus, boneka bagus, PSP baru, mengajakku bermain ke taman hiburan dan menyekolahkanku ke sekolah berkuwalitas bagus di Seoul. Mereka berusaha sebaik mungkin untuk menjadi sepasang ayah dan ibu. Aku sungguh bahagia bisa merasakan kembali kehangatan dari ayah dan ibu yang telah hilang.
Semuanya terdengar begitu sempurna kan untuk anak adopsian? Ya memang benar. Tetapi ada satu pengecualian dalam kasus ini. Tak berapa lama setelah aku diadopsi, ibu….emm….maksudku nyonya Lee memutuskan untuk mengadopsi anak lain dari panti asuhan yang berbeda. Awalnya aku begitu senang karena aku akan mendapatkan saudara, akan tetapi setelah aku menyadari bagaimana saudara angkatku itu aku merasa bahwa kebahagiaanku telah lepas ke tempat antah berantah.
Kehadirannya itu… memberikan nuansa berbeda dalam hidupku…
❀◕
“Ayo masuk!” ayah membawa anak itu masuk ke dalam rumah. “Sora-ya ayo kemari dam lihat siapa yang datang bersama abeoji!”
“Anak laki-laki?” aku berjalan mendekati ayah. Seorang anak laki-laki berwajah datar berjalan di sampingnya, ayah menggenggam tangannya.
“Kenalkan Sora, ini Cho Kyuhyun, dan Kyuhyun, yang di sana itu adalah Sora. Mulai sekarang kalian adalah kakak-beradik,” kata ayah.
“Hallo, aku Sora,” kuulurkan tangan kananku supaya ia bisa menjabatnya. Namun ia tidak memberikan respon sesuai dengan harapanku. Ia hanya terus diam, tatapannya begitu dingin.
“Kyuhyun, ayo jabat tangannya!” ayah menjabat tanganku memberikan contoh. “Begini.”
Ia kemudian menjabat tanganku dengan sedikit terpaksa. Sikap apa-apaan itu? Menyebalkan.
“Ayo Kyuhyun, kuperlihatkan kamar barumu,” kata ibu yang baru saja memasuki rumah. Kelihatannya ibu sangat senang memiliki putra baru. Entah hanya perasaanku atau ia terlihat lebih menyukai Kyuhyun dibandingkan diriku. Ibu meraih tangan Kyuhyun, menggandengnya ke dalam kamar yang terletak tepat di sebelah kamarku. Kemudian ayah meraihku ke dalam gendongannya lalu mengikuti langkah kaki ibu dan Kyuhyun.
❀◕
Ya! Kembalikan PSP ku sekarang juga!” teriakku kepadanya.
“Tidak mau!”
Aish, sosok menyebalkan ini benar-benar tidak pernah berubah dari dulu.
“Ayo kembalikan!” rajukku seperti anak kecil. Aku mulai menggunakan tanganku yang tentunya kalah panjang dari tangannya untuk merebut benda berukuran sedang itu.
“Sebentar saja kau pinjam, kenapa kau pelit sekali sih?”
“Kau kan punya sendiri? Pakai saja punyamu!”
“Punyaku tidak mau menyala.” Jawabnya enteng.
Aigoo, bukannya kau baru membelinya tiga hari yang lalu?”
“Sudah rusak.”
Aku tetap tidak menyerah untuk merebut PSP ku. Selama beberapa menit aku ‘bergulat’ dengannya memperebutkan sebuah PSP. Dikarenakan proporsi tubuhku yang lebih kecil dari pada tubuhnya, tentu saja aku tidak berhasil. Yang ada malah aku kelelahan meloncat-loncat mengimbanginya yang begitu tinggi. Sesaat aku mulai berpikir, seandainya saja ada Siwon di sini, pasti aku tak akan repot-repot buang tenaga dengan setan sialan bernama Kyuhyun ini.
“Baiklah aku menyerah,” aku menjatuhkan tubuhku di atas kasurku yang empuk. Saat ini kami memang sedang ada di dalam kamarku. Sejak kecil, Kyuhyun memang sudah biasa bermain di kamarku, mengobrak-abrik isinya sesuka hatinya seakan-akan ruangan ini adalah kepunyaannya.
“Segitu saja perlawananmu? Sungguh tidak mengasyikkan,” dia berujar kemudian melempar PSP ku ke atas kasur. Aku membuang napas berat. “Aku capek, dasar Kyu Tudeol!”
“Berhenti memanggilku Kyu Tudeol (re:Kyu Complain) atau aku akan…” ancamnya.
“Akan apa?”
“Aku akan…”
Kyu Tudeol! Kyu Tudeol! Kyu Tudeol!” godaku.
Kyuhyun menggigit bibir bawahnya. Aku bisa mlihat evil smirk di wajahnya. Dalam imajinasiku dua buah tanduk merah menyembul dari kepalanya, ekor setan juga keluar dari belakangnya. “Kau akan menyesal karena berani memanggilku begitu, Sora-ssi!”
Ia mengambil ancang-ancang, lalu meloncat keatas kasur, kemudian melilitkan lengannya ke leherku. Seakan-akan ia sedang mencekikku. Walau pun ia tidak bersungguh-sungguh namun aku tidak bisa bernapas saat ini. Rasanya sangat sesak. “Akh~ Kyu Tudeol, lepas…akh…aku tidak bisa napas…heeek.”
Ia menggelitik badankku, sehingga aku menggeliat seperti cacing kepanasan. “Abeoji, tolonggg aku!” aku meronta meminta pertolongan pada ayah. “Omma…tolong!” kali ini pada ibu. Ayolah, siapa saja tolong aku!
Aaakh…,” Kyuhyun memekik, “kenapa kau menendang perutku, huh?” ia melepaskan lilitan lengannya yang besar itu dari leherku yang kecil. Ia menggeliat kesakitan.
“Rasakan ini!” aku menendang-nendang punggungnya sebagai pembalasan dariku. “Rasakan! Bagaimana rasanya, huh?”
Ya! Lee Sora! Kau mau mematahkan tulang punggungku?” Kyuhyun menangkis tendangan demi tendangan yang aku luncurkan dengan sebelah tangannya.
“Kau duluan yang ingin mematahkan leherku,” kataku tak mau kalah.
“Apa aku tidak salah denga…” Kyuhyun berhenti mengucapkan kata-kata. Ia segera bangkit dari kasur.
“Apa yang sedang kalian lakukan?” Ayah berdiri di ambang pintu, tangannya terlipat di dada.
“Dia! Bocah sialan ini mau mematahkan leherku,” aduku pada ayah.
“Dasar tukang ngadu!” celanya padaku.
“Apa kau?” tantangku bangkit dari kasur. Kami saling menatap tak mau kalah satu sama lain.
Ayah hanya geleng-geleng kepala, “ah, kapan kalian bisa akur?” ia menengahi pertikaian kami. “Kalian ini sudah tujuh belas tahun, bukan lagi anak kecil berusia sepuluh tahun yang suka berkelahi mengenai hal sepele.”
“Ralat!” potong Kyuhyun, “bocah di sampingku ini baru enam belas tahun. Belum tujuh belas.”
“Dasar tukang protes! Sebentar lagi aku tujuh belas kok!” aku memeletkan lidahku keluar.
“Sudah-sudah!” ayah mengingatkan. “Oh iya, ada telepon untukmu, Kyuhyun-ah.”
“Aku?” Kyuhyun bertanya.
“Iya, katanya ia ingin bicara denganmu mengenai sesuatu yang sangat penting.”
“Siapa memang yang menelpon, abeoji?” tanyaku.
Eng, kalau tidak salah namanya Andrew Choi,” jawab ayah setelah menggaruk dagunya yang tidak gatal.
“Oh, baiklah.” Kyuhyun pergi dari kamarku, hendak menjawab telepon dari seseorang.
“…Andrew Choi?” sepertinya aku tidak asing dengan nama itu. Dimana ya aku pernah mendengarnya? Entahlah.
Yoboseo, kenapa menelpon? Iya ini aku Kyuhyun. Apa? Dimana? Baiklah aku segera kesana sekarang,” Kyuhyun menutup ganggang teleponnya.
❀◕

0 komentar:

Posting Komentar

☆Created Couples

☆Created Couples
Chocolates♥Chronicles♥Miracles

☆Chronicles Couple

☆Chronicles Couple
Choi Siwon ♥ Cho Kyu Hyun

☆Other Couples

☆Other Couples
another world of Choi Sora's life

☆Uri Chingu

☆Uri Chingu
Choi Sora's Friends