Ketika pertama kali melihatnya, aku tahu ia bukan orang biasa.
Ketika pertama kali mendengarnya, aku tahu ia punya banyak pengalaman.
Ketika aku mencari tahu tentangnya, aku tahu ia benar-benar mengagumkan.
Ketika itu turun hujan lebat, namun aku masih bisa mendengar suaranya.
Saat itu juga, ia membuatku terkesan bukan main, ketika pertama aku mengagumi kemampuan inteleknya, ketika itu aku percaya bahwa aku akan mengidolakannya sama seperti gadis-gadis lain di barisan depan.
Kian dalam aku tahu, bahwa ia tak hanya pintar IQ-nya, tapi juga EQ sekaligus SQ, aku makin terkesan.
Entahlah, mungkin rasa kagum yang mengakar dalam hati dan benakku ini bisa berubah menjadi rasa cinta suatu hari nanti.
Aku tak akan pernah tahu.
Mungkin ini hanya akan berakhir sebagai perasaan yang bertepuk sebelah tangan.
Aku sudah menyiakan mental untuk kemungkinan paling buruk.
Ia tak mungkin melirikku, kami bahkan tak saling mengenal.
Dibandingkan dengan aku, kurasa masih ada gadis lain di luar sana yang akan lebih memikatnya, yang jauh lebih pantas bersanding dengannya.
Pria bernama Kim Kibum itulah pemilik sah dari kata-kata barusan.
Ingin rasanya kuukir namanya di atas semua lembar kertas dalam bukuku, tapi sayangnya aku tak bisa.
Untuk saat ini, aku hanya menulisnya di sini.
Aku harap ia bisa hidup dengan bahagia untuk kedepannya.
Aku yakin, Tuhan akan selalu membimbingnya dalam jalan kehidupannya.
Tentu saja jalan kehidupan manusia itu berbeda-beda.
Termasuk jalanku dan jalannya.
Oleh karena itu, walaupun aku hanya mengaguminya untuk saat ini, dan kemungkinan tidak akan bertemu lagi atau bahkan sempat mengenalnya secara nyata, tapi aku harap ia tetap menjadi pribadi yang aku segani.
Kim Kibum yang pintar, cerdas, baik, dan taat beragama.
---
First Meeting
-27 November 2010-
"Aku tidak tahu apakah aku bisa atau tidak," gadis itu berujar pada teman di sebelahnya.
"Memangnya kenapa kalau kau tidak tahu? Aku tahu kalau kau pasti bisa," gadis di sebelahnya berusaha meyakinkan temannya yang sedang diterpa kegalauan tingkat akut itu, "aku selalu tahu kau pasti mampu mengikuti ajang seperti ini, percayalah padaku Sora-ya!" ia menepuk bahu gadis yang disinyalir bernama Sora.
"Begitukah menurutmu, Rin Young-ah?"
Gadis bernama Rin Young itu mengangguk pasti.
"Tapi walau bagaimana pun aku tetap merasa tidak percaya diri," kata Sora terdengar frustasi, "dibandingkan dengan mereka, aku ini apa?"
Rin Young menghela napas berat,"dengar ya Sora-ya! Aku rasa kau harus membuang sifat mindermu itu jauh-jauh!"
Sora menggeleng lesu, "susah~"
Rin Young berdecak sedikit kesal dengan sikap sahabatnya yang satu ini, "tentu saja susah kalau kau sama sekali tidak punya keinginan seperti ini!"
Semenjak masih duduk di bangku junior high Sora memang sudah mengidap penyakit kurang percaya diri yang luar biasa.
Setiap kali ia harus mewakili sekolahnya untuk mengikuti kejuaraan Bahasa Inggris, ia pasti selalu menolak dengan alasan tidak percaya diri dan selalu mengatakan bahwa masih banyak orang lain di sekolahnya yang memiliki kemampuan berbahasa inggris jauh lebih baik darinya.
"Ayolah jangan jadi ayam pengecut, Sora-ya! Tunjukkan kalau kau jug apunya kemampuan!"
"Tapi mereka jauh lebih baik!"
"Ahhh~ terserah kau saja kalau begitu, memang susah berbicara padamu," tukas Rin Young sebelum akhirnya ia melangkah pergi meninggalkan sahabatnya sendirian di dalam ruang kelas 10-4 itu.
---
"Baiklah anak-anak, semuanya sudah berkumpul?" tanya guru wanita berparas ayu itu.
"Belum, Seonsaengnim! Kurang satu murid lagi."
"Siapa yang belum datang memangnya?"
"Emm... Sora. Choi Sora dari kelas 10-4 belum menampakkan batang hidungnya."
Saat ini jam sudah menunjukkan pukul 06.35 pagi hari, hampir semua murid-minus Sora-yang akan dikirim untuk mengikuti lomba Bahasa Inggris tingkat senior high sudah berkumpul di depan gerbang sebuah sekolah menengah berbasis internasional di kawasan Seoul, Korea Selatan.
"Aish, kemana anak ini? Kita bisa telat gara-gara dia," celutuk salah seorang murid.
Sang guru wanita nampak sedikit khawatir, "baiklah! Kita tunggu saja dalam mobil, kalau sepuluh menit lagi dia tidak datang maka kita akan berangkat tanpa dia," putusnya berusaha sebijak mungkin.
Para murid pun segera memasuki sebuah mobil van warna abu-abu yang sekiranya bisa menampung sebanyak 15 kepala itu.
Tak butuh waktu sepuluh menit, seorang gadis dengan seragam abu-abunya berlari menuju mobil van di mana guru Bahasa Inggris dan teman-temannya telah menanti.
"Hosh~ Hosh~ maaf saya telat, hosh~" napasnya tersenggal-senggal karena berlari.